:strip_icc()/kly-media-production/medias/5385935/original/084962800_1760949173-Menonton_film_horor.jpg)
Menonton film horor ternyata memicu serangkaian reaksi nyata pada tubuh manusia, mulai dari peningkatan detak jantung yang signifikan hingga memicu respons stres yang kompleks. Fenomena ini melibatkan pelepasan berbagai hormon dan aktivitas otak yang cepat, mengubah pengalaman sinematik menjadi simulasi ancaman yang dipersepsikan oleh tubuh.
Saat adegan menegangkan atau jump scare muncul, irama jantung penonton dapat meningkat drastis, menjadi respons alami tubuh terhadap rasa takut. Peningkatan detak jantung ini dapat mencapai 15 kali per menit lebih cepat dari kondisi normal, dan bahkan pada beberapa film seperti "Sinister", detak jantung penonton bisa melonjak antara 86 hingga 131 detak per menit (bpm). Sejalan dengan itu, laju pernapasan juga meningkat. Otot-otot tubuh menegang sebagai bentuk kesiapan menghadapi bahaya yang dipersepsikan, di mana hormon noradrenalin berperan penting dalam mempersiapkan tubuh untuk "sesuatu yang besar".
Lebih jauh, tubuh juga merespons dengan melepaskan hormon adrenalin, yang merupakan respons utama terhadap stres atau ketakutan, memicu mekanisme "melawan atau lari" (fight-or-flight). Pelepasan adrenalin ini meningkatkan energi dan kewaspadaan. Selain adrenalin, kadar hormon kortisol juga meningkat saat menonton film horor. Kortisol dikenal sebagai hormon stres dan peningkatannya dapat memicu munculnya kenangan buruk di masa lalu yang tidak disadari. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa menonton film horor dapat memicu reaksi pengentalan darah sementara, sebagai bagian dari cara tubuh mempersiapkan diri terhadap kemungkinan cedera atau kehilangan darah. Pupil mata juga membesar, tekanan darah meningkat, kelopak mata terbuka lebar, dan bahkan bisa menimbulkan sensasi merinding serta keringat dingin. Gerakan mata penonton juga cenderung lebih cepat, mengikuti adegan yang memicu kepanikan.
Secara psikologis, meskipun otak menyadari bahwa ancaman dalam film adalah fiktif, tubuh secara bersamaan mencatatnya seolah ancaman itu nyata, memicu emosi tegang, takut, stres, dan kaget. Rasa takut bermula dari amigdala, bagian otak yang mengenali ancaman dan memproses emosi, yang kemudian mengirim pesan ke hipotalamus, pusat komando otak. Bagi sebagian orang, efek ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental, seperti memicu kecemasan, rasa tidak aman, dan bahkan ingatan traumatis di masa lalu, terutama bagi penderita gangguan stres pascatrauma (PTSD) atau gangguan kecemasan. Film horor juga dapat menyebabkan masalah tidur, seperti sulit tidur nyenyak atau mimpi buruk. Anak-anak, khususnya, dapat menjadi lebih penakut dan bahkan menunjukkan perilaku agresif setelah menonton film horor karena kesulitan membedakan fiksi dan kenyataan.
Namun, di balik semua reaksi fisik dan psikologis yang intens ini, menonton film horor juga memiliki beberapa dampak positif yang mengejutkan. Peningkatan adrenalin dan metabolisme tubuh dapat membakar kalori, dengan menonton film horor selama 90 menit bisa membakar sekitar 100 hingga 200 kalori, setara dengan berjalan kaki selama 30 menit. Selain itu, pelepasan hormon seperti dopamin dan serotonin pasca-ketegangan dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi tingkat stres. Bagi individu tertentu, terutama penderita gangguan kecemasan atau OCD, film horor dapat menjadi cara aman untuk menghadapi dan mengelola rasa takut, serta melatih mental dalam menghadapi ketakutan di kehidupan nyata. Bahkan, dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh melalui peningkatan produksi sel darah putih.
Pada akhirnya, respons tubuh terhadap film horor adalah bukti kuat dari koneksi erat antara pikiran dan fisiologi. Meskipun memberikan sensasi yang dicari oleh sebagian penggemar, penting bagi individu untuk memahami batas toleransi tubuh dan kesehatan mental mereka terhadap genre film ini.